LATAR BELAKANG KELUARGA PETANI
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah pertanian di Propinsi Jawa Tengah, secara topografis terdiri atas daerah dataran rendah dan perbukitan. Daerah dataran rendah merupakan kawasan di bagian utara, daerah perbukitan merupakan kawasan di bagian selatan dan timur. Sesuai dengan letak geografis dipengaruhi oleh angin muson dengan 2 musim yaitu musim kemarau pada bulan April-September dan musim hujan antara bulan Oktober – Maret. Curah hujan tahunan ratarata sebesar 2.790 mm, suhu udara berkisar antara 23 C sampai dengan 34 C, dengan kelembaban udara tahunan rata-rata 77 %. Kabupaten Sukoharjo dalam suatu sistem hidrologi merupakan kawasan yang berada pada aliran sungai Bengawan Solo.
Pola tata guna lahan terdiri dari perumahan, tegalan, kebun campuran,
sawah, perusahaan, jasa, industri dan penggunaan lainnya dengan sebaran
sawah sebesar 45,26 % dan lahan bukan sawah 54,74 %, dari lahan sawah
tersebut terdiri dari 70,17 % irigasi teknis, irigasi setengah teknis 8,98 %,
irigasi sederhana 9,17 % dan sawah tadah hujan 11,67 % (sukoharjokap.
go.id).
Berdasarkan kondisi alam Kabupaten Sukoharjo tersebut salah
satu komoditas andalan produk pertanian adalah padi, kondisi tersebut
didukung dengan situasi alam dataran rendah yang dilalui oleh sungai
Bengawan Solo dan curah hujan yang relatif cukup. Kondisi tersebut
bertolak belakang sebelum dibangun Waduk Gajah Mungkur Kabupaten
Wonogiri sekitar tahun 1980-an. Wilayah Kabupaten Sukoharjo khususnya
Kecamatan Weru merupakan daerah yang tandus, dimana masyarakat
bercocok tanam padi hanya setahun sekali sedangkan sisanya ditanami
singkong, jagung, canthel, kacang atau kedelai.
Kehidupan masyarakat Kabupaten Sukoharjo secara umum sebagai
petani, hal ini tidak terlepas dengan kehidupan keluarga besar Paidi
Pawiromiharjo dan Samiyem. Kedua orang tua inilah yang melahirkan,
mendidik dan mengasuh salah satu Bhayangkara terbaik yaitu Sutarman.
Sutarman dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1957, di Dukuh Dayu RT 3 RW
11, Desa Tawang, Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sebuah desa yang cukup jauh dari pusat keramaian, bahkan lebih dekat
ke perbatasan di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Berjarak sekitar 20
kilometer dari kota Sukoharjo, atau 30 kilometer dari kota Solo.
Dukuh Dayu Desa Tawang Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, Sutarman
dilahirkan di daerah yang berada pelosok Kabupaten Sukoharjo, jauh dari
gemerlap dan keramaian. Pada saat itu kondisi jalanan yang kurang infrastruktur,

melalui jalan yang berkelok-kelok dan menerobos perbukitan yang lebat dengan pepohonan kapuk randu, nangka dan pohon-pohon di sepanjang pagar tepi jalan. Sehingga jalanan desa yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat pada saat itu terkesan angker karena ditumbuhi pepohonan besar yang rindang.
Sutarman lahir dari keluarga petani yang sederhana, sebagai putra
pertama mempunyai 4 saudara kandung bernama Sutikno, Harmini, Haryati
dan Harwanti. Masa muda Sutarman selalu bergelut dalam kesulitan dan
kemiskinan, kerja keras usai bersekolah sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kehidupan pasangan Pawiro dan Samiyem merupakan petani biasa di
Desa Tawang, mereka hidup bersandarkan pada kehidupan bercocok tanam
khususnya padi dan palawija. Selama kegiatan bercocok tanam, maka curah
hujan sangat diharapkan oleh para petani dalam menyambung kehidupan
sebagai petani kecil. Hanya menggantungkan tanaman padi di kala musim
hujan sedangkan pada musim kemarau para petani bertanam palawija.
“Suasana kehidupan di kampung ini dulu untuk makan sehari-hari kami
kadang kala makan tiwul, kehidupan sangat sederhana dan susah karena kami ini merupakan petani kecil, boleh dikatakan hanya buruh tani, itu pun lahan pertanian disini tidak bisa terus menerus ditanami padi seperti sekarang ini. Padi hanya bisa ditanam ketika musim hujan, setahun hanya sekali panen, itupun kalau tidak kena hama ataupun kebanjiran, karena daerah di sini dulu kalau musim penghujan sering kebanjiran, kalau sudah kena hama atau kebanjiran persediaan makanan pokok kami terutama beras sudah habis sebelum panen. Keadaan ini kami siasati dengan makan tiwul yaitu singkong
yang dikeringkan lalu ditumbuk selanjutnya dimasak untuk dijadikan nasi pengganti beras. Selama tidak bisa ditanami padi, sawah kita tanami canthel,
jagung, kedelai, palawija, jaman dulu belum ada pengairan seperti sekarang ini, persawahan hanya mengandalkan air hujan, istilahnya sawah tadah hujan, kata Pawiromiharjo orang tua Sutarman.

Latar belakang keluarga sebagai petani inilah tidak terlepas dengan pasang
surut kondisi ekonomi, di kala panen raya berhasil maka pundi-pundi penghasilan meningkat sehingga taraf kesejahteraan membaik, namun sebaliknya jika panen gagal maka kondisi ekonomi akan terpuruk.
Di kala tahun 1960-an situasi nasional tidak menentu, kehidupan politik lebih dominan sedangkan kehidupan perekonomian dalam kondisi merangkak,
sehingga berpengaruh dalam kondisi perekonomian di Indonesia mengalami
keterpurukan, hal ini sebagai dampak defisit dari tahun ke tahun meningkat,
yang disebabkan oleh lebih besarnya pengeluaran dari pada penerimaan
negara.
Antara tahun 1960-1965 pengeluaran negara meningkat dari Rp 60,5
Miliar menjadi Rp 2.514 miliar atau 40 kali, sedang penerimaan Negara pada
1960 Rp 53,6 Miliar menjadi Rp 923,4 miliar pada tahun 1965, atau 17 kali.
Defisit yang makin lama makin besar itu ditutup dengan pencetakan uang
baru. Volume uang naik dari Rp 47,8 Miliar pada tahun 1960 menjadi Rp2.775,0 Miliar pada Sejak bulan Januari-Agustus 1966 pengeluaran mencapai Rp 11 miliar dan penerimaan hanya Rp 3,5 Miliar, defisit mencapai jumlah Rp 7,5 Miliar yang menambah volume uang dalam sirkulasi (Nugroho, 1975 : 231).
Berita Lengkap Kunjungi : Magazine Sumeksbooks